Sunday, January 1, 2023

Bunyi-Bunyian Ganjil

Cerpen Natsume Soseki


Bagian Awal

Aku terbangun meskipun masih mengantuk. Terdengar suatu bunyi entah apa dari kamar sebelah. Awalnya aku tidak tahu bunyi apa itu dan dari mana asalnya, tetapi setelah kusimak, perlahan telingaku semakin bisa menangkap bunyi tersebut: bunyi yang ditimbulkan dari memarut sesuatu, entah lobak atau apa, menggunakan parutan wasabi—yang mata parutannya lebih lembut. Ya, tak salah lagi. Aku yakin dengan dugaanku. Aku hanya tidak bisa membayangkan keperluan macam apa yang dihadapi oleh penghuni kamar sebelah, sampai harus memarut lobak pada waktu selarut ini.

Oh, aku lupa mengatakan bahwa tempat ini adalah rumah sakit. Tukang masak hanya ada satu orang, ia bertempat di dapur di lantai bawah yang letaknya terpisah sekitar lima puluh meter. Sementara itu, memasak di bangsal rumah sakit adalah hal yang dilarang. Jadi, apa yang hendak dibikin dari hasil parutan lobak ini, terlebih pada waktu yang tidak biasa seperti ini? Tebersit pikiran bahwa akulah yang salah menganggap bunyi lain sebagai bunyi lobak yang sedang diparut, tapi sama sekali tidak terbayangkan olehku dari mana asal bebunyian itu dan mengapa bisa terdengar ke telingaku.

Setelah memutuskan untuk mengabaikan hal tersebut, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menggunakan pikiranku untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Tapi bunyi misterius yang terdengar sekali lagi itu terus-menerus bergaung di gendang telingaku dan menjalari saraf-sarafku, membuatku tak mampu melupakannya bagaimanapun caranya.

Rumah sakit ini dikelilingi hutan sehingga terasa sunyi. Pasien-pasien yang aktivitasnya terbatas yang dirawat di gedung ini juga pendiam, seolah mereka sudah saling bersepakat. Mereka ini, kalau tidak tidur, ya memikirkan sesuatu. Tidak ada seorang pun yang mengobrol. Bahkan suara langkah kaki para perawat yang mengenakan sandal ruangan pun tidak terdengar. Dalam kondisi sesenyap ini, bunyi aneh seperti sedang memarut sesuatu jadi membuatku penasaran.

Ruang perawatanku dulunya adalah dua ruangan bersebelahan yang, karena sebab tertentu dari pihak rumah sakit, dibangun pembatas sehingga menjadi dua kamar yang benar-benar terpisah. Lantaran itulah, satu kamar berukuran kecil yang dilengkapi tungku arang memiliki dinding tembok; sementara kamar lainnya yang berukuran lebih besar dengan kelengkapan alas tidur memiliki lemari penyimpanan di sisi timur di bagian atas seukuran dua meter. Di dekat lemari tersebut, dipasang penyekat ruangan berbahan kain dari pelepah pisang sebagai akses keluar-masuk ke kamar sebelahnya. Apabila selembar penyekat ini dibuka, kita dapat dengan mudah mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh penghuni kamar sebelah—tetapi apa gunanya berperilaku tidak sopan seperti itu. Pintu di sisi yang menghadap ke halaman dibiarkan terbuka begitu saja sebab saat ini cuaca mulai panas. Dulunya, beranda di sisi tersebut sempit dan panjang, saling tersambung satu sama lain. Lantas demi mencegah pasien pergi ke beranda lalu melongok tidak sepantasnya ke kamar lain, dipasanglah pintu tiap dua kamar, yang berfungsi sebagai penghalang. Di balik pintu itu, dipasang lagi kayu melintang yang di atasnya disusun bilah-bilah tipis secara membujur dengan jarak rapat-rapat sehingga berbentuk serupa palang.  Petugas kebersihan, yang tiap pagi bekerja mengelap dan membersihkan ruangan, selalu membawa serta anak kunci dari lantai bawah. Ia lantas membuka pintu itu satu per satu.

Aku mencoba berdiri di atas undakan pintu—sepertinya bunyi ganjil itu bersumber dari balik pintu ini. Sebetulnya, ada celah setinggi jari telunjuk di bawah pintu, tapi dari celah itu tak nampak sesuatu pun.

Bahkan setelah saat itu, bunyi tersebut berulang kali terdengar. Kadangkala bunyinya menyerang saraf pendengaranku secara beruntun selama lima atau enam menit tanpa henti, tapi terkadang pula sudah berhenti padahal durasinya belum sampai separuhnya. Perihal penyebabnya, aku tak memiliki daya untuk mengetahuinya. Pasien di ruangan itu adalah seorang pria yang pendiam, kadang-kadang saat tengah malam ia membangunkan perawat dengan suaranya yang lirih. Perawatnya adalah seorang perempuan yang berpembawaan ceria. Setelah dua atau tiga kali dipanggil dengan suara kecil, ia akan menjawab panggilan itu dengan ramah, "Ya...?", lantas segera beranjak bangun. Setelah itu ia akan memeriksa kondisi si pasien.

Suatu hari, ketika kamar sebelah sedang mendapat jadwal kunjungan dokter, durasi kunjungannya lebih lama daripada biasanya. Setelah itu, terdengarlah suara bisik-bisik. Percakapan antara dua atau tiga orang itu lalu makin memanas, sepertinya mengalami kebuntuan. Lantas terdengarlah dengan jelas suara sang dokter, bagaimanapun, ini tidak dapat sembuh dalam sekejap.

Dua atau tiga hari setelahnya, tampak beberapa orang yang diam-diam keluar-masuk ke ruangan pasien tersebut. Mereka melakukannya sembunyi-sembunyi, kupikir karena mereka segan untuk mengganggu si pasien. Namun tanpa kusadari, ternyata pasien itu sudah tidak ada di sana. Ia menghilang entah ke mana—seperti bayangan.

Setelah itu, keesokan harinya ada pasien baru yang masuk sehingga plat hitam dengan tulisan warna putih berisi nama pasien yang tergantung di pintu masuk pun diganti. Pasien yang sebelumnya sering menimbulkan bebunyian ganjil itu rupanya sudah pulang—tanpa kuketahui siapa dia. Saat itu pula, aku juga selesai opname dan pulang. Dengan demikian, rasa penasaranku atas bunyi-bunyian itu pun turut lenyap.

 

Bagian Akhir

Baru tiga bulan berselang, aku kembali dirawat inap di rumah sakit. Ruang perawatanku hanya berbeda satu nomor dari sebelumnya; dengan kata lain, di sebelah barat kamar yang dahulu. Aku ingin tahu apakah kamarku terdahulu, yang dibatasi selapis dinding dengan kamar ini, berpenghuni atau tidak. Dengan penuh kewaspadaan aku menengok ke sana, tapi tak terdengar suara apa pun sepanjang hari. Barangkali sedang kosong. Di kamar sampingnya lagi di ujung, yaitu tempat asal bebunyian aneh itu, aku pun tak tahu siapa pasiennya di sana sekarang.

Selang beberapa waktu, aku merasa ada perubahan dahsyat yang terjadi di tubuhku, bahkan hingga menyerang kepalaku. Bayangan masa lalu yang hingga sekarang terus-menerus menimbulkan riak kecil membuatku gemetar sehingga aku tak punya waktu untuk mengingat perihal parutan wasabi itu. Aku justru menaruh perhatian pada pasien-pasien sebelumnya di rumah sakit ini; mereka yang nasibnya mirip denganku. Aku sempat bertanya kepada perawat mengenai jumlah pasien yang juga sedang dirawat di sini, lalu ia menjawab bahwa ada tiga orang pasien. Kutanya lagi apakah penyakit mereka tergolong berat, lalu ia menjawab bahwa sepertinya demikian. Satu atau dua hari setelahnya, aku mengonfirmasi penyakit yang dialami ketiga pasien tersebut kepada perawat. Ternyata, satu orang mengidap kanker tenggorokan. Seorang lainnya menderita kanker lambung, lalu seorang lagi mengalami tukak lambung. Usia mereka nampaknya tak akan panjang lagi, kata perawat, memperkirakan nasib ketiga orang tersebut.

Aku memandangi tanaman begonia dengan bunga kecilnya yang kuletakkan di beranda. Aku teringat pada kisah orang yang membawakanku begonia ini. Sebenarnya ia bermaksud membeli tanaman krisan, tapi saat itu si penjual bilang bahwa harganya enam belas kepeng, ia lalu menawarnya menjadi lima kepeng, tapi si penjual tetap bersikukuh. Saat hendak pulang, ia kembali mengatakan bagaimana kalau enam kepeng, namun si penjual tetap bergeming dan menjelaskan bahwa tahun itu tanaman krisan perlu banyak air sehingga harganya mahal. Sembari memandangi bunga, di kepalaku terbayang pemandangan malam jalanan yang riuh pada festival ennnichi di dekat kuil.

Pasien penderita kanker tenggorokan akhirnya selesai opname dan keluar rumah sakit. Pasien kanker lambung, yang berkata bahwa kematian bukanlah suatu masalah baginya kalau memang ia sendiri sudah menyerah, akhirnya meninggal dengan tenang. Sementara itu, pasien dengan penyakit tukak lambung kondisinya makin memburuk. Saat aku terbangun pada tengah malam, kadangkala dari arah ujung timur terdengar bunyi dari penjaga pasien yang sedang memecah es batu. Bunyi tersebut berhenti bersamaan dengan meninggalnya si pasien. Aku menulis di buku harianku. Dua orang di antara tiga pasien telah meninggal, tinggal aku seorang, dan aku merasa iba pada mereka yang meninggal. Saat orang-orang yang sedang sakit ini merasa mual, mereka tak henti-hentinya muntah dengan suara yang seakan menggema dari ujung sana hingga pojok sini. Namun, dua atau tiga hari belakangan ini suara-suara itu tak lagi terdengar sama sekali. Kupikir itu karena mereka semakin membaik, tapi aku baru tahu bahwa sebenarnya suara itu merupakan puncak penderitaan mereka, yang telah kehilangan seluruh tenaganya.

Selepas itu, pasien datang silih berganti, dirawat lalu pulang. Sementara itu, penyembuhan penyakitku menunjukkan perkembangan yang semakin baik dari hari ke hari, hingga akhirnya aku mulai bisa berjalan bolak-balik di sepanjang lorong yang lebar ini dengan mengenakan sandal ruangan. Gara-gara kejadian yang tak terduga, aku jadi bisa berbincang-bincang dengan perawat yang saat itu kebetulan sedang bertugas. Seusai makan siang pada suatu hari yang hangat, aku keluar menuju ruang cuci untuk mengganti air di vas berisi bunga bakung, sekalian menggerakkan tubuh. Ketika aku membuka keran, perawat itu datang untuk mencuci perabotan minum teh dari ruangan tempatnya berjaga. Ia menguluk salam padaku sebagaimana biasanya, sembari selama beberapa saat memandangi vas mangkuk yang kupegang serta umbi bunga bakung yang terlihat mengembang dan memenuhi vas, kemudian memindahkan pandangannya ke wajahku dan mengatakan, air muka Anda tampak lebih bugar dibandingkan dengan ketika baru diopname, pujinya seakan sedang membandingkan aku pada saat ini dengan aku saat tiga bulan lalu.

"Waktu itu, kau juga bertugas di sini, 'kan?"

"Betul, di kamar sebelah Anda. Saya di tempat Pak A beberapa lama, tetapi mungkin Anda tidak mengetahuinya."

Pak A adalah orang yang menimbulkan bebunyian aneh, yang dirawat di kamar di sebelah timur. Aku melihat perawat di sebelahku, dan sedikit terkejut begitu mengingat bahwa perempuan inilah yang menjawab dengan suara ramah dan segera beranjak bangun atas panggilan si pasien pada tengah malam itu.

“Oh, begitu rupanya,” kataku sambil mengelap vas mangkuk.

Tiba-tiba, dengan pembawaan formal, ia berkata, "Saat itu, dari kamar Anda kadang-kadang terdengar suara-suara aneh...."

Aku seolah mendapat serangan balik mendadak. Kutatap perawat tersebut.

Ia melanjutkan kalimatnya, "Setiap pagi sekitar pukul enam, pasti timbul suara itu."

"Oh, itu." Aku berbicara lantang, seakan-akan teringat sesuatu. "Itu suara alat pengasah pisau cukur otomatis. Tiap pagi aku mencukur janggut, jadi aku mengasah pisau pencukurnya. Itu kulakukan sampai sekarang. Kalau kau berpikir aku berbohong, datanglah, lihat sendiri."

Perawat itu hanya ber-oooh panjang. Informasi yang kudapat tentang si pasien semakin banyak. Nampaknya, pasien bernama Pak A tadi sangat terganggu dengan suara alat pengasah janggut milikku, sehingga ia kerap bertanya suara apa itu. Si perawat menjawab bahwa ia tak tahu, lalu pasien itu berkata, orang di kamar sebelah ini sangat energik, setelah bangun pagi ia segera berolahraga, dan sepertinya itu suara dari alat olahraganya. Enak sekali ya hidupnya, begitu yang ia ucapkan berulang kali.

"Kalau bunyi dari arah kamarnya, itu bunyi apa?"

"Bunyi dari arah kamarnya?"

"Itu lo, bukankah sering terdengar bunyi aneh seperti orang sedang memarut lobak?"

"Oh, itu. Itu suara saat sedang memarut mentimun. Pasien ini merasa kakinya panas dan menyuruh agar kakinya dikompres dengan air parutan mentimun, jadi saya memarut mentimun sepanjang waktu."

"Kalau begitu, memang benar itu suara dari parutan lobak, ya."

"Benar."

"Akhirnya terjawab sudah. Sebenarnya, apa penyakit Pak A ini?"

"Kanker anus."

"Penyakit yang parah, ya."

"Ya, begitulah. Tak lama setelah pulang opname, beliau meninggal dunia."

Aku kembali ke kamarku, termangu-mangu. Aku lantas membandingkan di dalam hati: perbedaan antara seorang pria yang telah meninggal yang membuat dongkol orang lain sebab bunyi parutan mentimun, dan seseorang yang energik yang membuat iri orang lain sebab bunyi alat pengasah pisau pencukur.


********

Cerpen "Bunyi-bunyian Ganjil" berjudul asli Hen na Oto ditulis oleh oleh Natsume Soseki. Cerpen ini dimuat dalam buku Natsume Soseki Zenshuu 10 (Kumpulan Karya Natsume Soseki Volume 10) yang cetakan pertamanya diterbitkan oleh Penerbit Chikuma Shobo pada bulan Juli 1988.


Tentang Pengarang

Natsume Soseki (1867—1916) adalah novelis ternama Jepang. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, misalnya Botchan Si Anak Bengal (Penerbit Kansha Books, 2012), Rahasia Hati (Penerbit Dunia Pustaka Jaya. 1978; Penerbit KPG, 2016), dan Aku Seekor Kucing (Penerbit Immortal, 2021).

Gambar dari https://www.pexels.com/photo/silver-and-black-steel-door-handle-6258528/



Wednesday, May 18, 2022

500円と5000円と幸福


ある日、友達に突然こう問いかけられた。

「次の2択の中で、どちらを選ぶ? A, 500円を貰って、自分で自由に使える。B, 5000円を貰って、その後に全額を誰かにあげなければならない。」

質問を聞いた瞬間、脳内に「これは、罠のある質問だ」という考えしか浮かばなかった。いわゆる、Aを選ぶ人はこんな性格であろう、一方Bを選ぶ人はこういう性格を持っていそう、そういうよくあるタイプの質問だ。

疑問点が多い中、「私だったらBの方。」と答えた。

疑問を抱いた点は、少なくとも二つある。まずは、500円の方だったら、使い道が少なすぎる。ランチを買いたくてもこの価格でメニューを提供するお店は限られている。たとえ自分が500円貰ったとしても、喜びは薄いかもしれない。なので、500円の選択肢は私にとってはピンと来ない。もう一つの疑問点は、金額の差だ。なぜ一緒にしないんだろうかと思うし、10倍の差がある意味もどう考えても理解できない。金額が一緒となったら、自分の利益を優先してAを手放しづらくだろう。よってそんな環境を作りあげればよりいい勝負になるのだと、私は考える。しかも、500円と5000円を比べたら、自分は何も損などしない5000円のBを選ぶ人数の方が圧倒的に勝つんじゃないか、と友達に説明してみた。

私の疑問点を聞いた後に、友達が笑って言った。

「実は、これはインフルエンサーのひろゆきさんがやったツイッターの投票だった。」と教えてくれた。この投票は何日間もそのまま回答を受け付け、最終的には133千人が投票したらしい。圧倒的にBの勝ちだろう、と思いきや、私の推測は大外れで、むしろAと答えた人のほうが多かった。割合でいうと、B48.7%で、A51.3%だ。差はそんなに出なかったけれども、確実にAがリードした。

興味深い投票と結果に釣られ、投票を行ったひろゆきさんの説明動画を見てみた。ひろゆきさんによると、これは実際にカナダのある大学で行われた研究だそうで、ひろゆきさんが選択肢を少し変えて、再調査を行ったらしい。結果に驚いたひろゆきさんが、「理由あって、選択肢を工夫した」と説明した。

このカナダの大学の研究は幸福感に関係があるらしい。Aの人は自分のことしか考えていなくて、500円で幸せになる側だ。一方Bの人は周りの人に配慮して、5000円を人にあげる。この5000円を貰った人は消費することによって、経済を回すことになる。つまり、Bの場合は、幸せになるのは自分だけではなく、色んな人なのである。

そして、研究の結果によると、人は寄付や奢りなど、とにかく誰かに何かをあげたら、幸福感が長く続くというのだ。

この結果はハーバード大学が行った研究の結果と似ている。この心理学の研究の結果によると、収入と幸せは密接に関係しているのだが、一定の額を超えると、この関係は崩れてしまい、そのことによって、幸福感がだんだん薄らいでいくらしい。この点で、研究者らは幸福感が保てる「8つのルール」、お金の使い道について提案する。提案の一つは「自分のためでなく、他人のためにお金を使おう」ということで、まさにひろゆきさんとの言葉と一致している。

私が感じたもう一つの面白かったことは選択肢を変えた理由である。5000円は結構高い金額であり、誰かにあげたらきっと貰った人が幸せになれるから、こっちの選択肢に誘導する、という仕掛けがあったそうだ。ただ、Aの投票者はこの点を検討せず、迷わずAの方へ。

つまり、自分の持っている物を誰かと共有したら幸福感に繋がる可能性が高い、という結論。この結論には同感で、「まあ、たしかにそうでしょうね」と思いつつ、興味深い研究だった。
  

Thursday, February 3, 2022

Kucing Hitam dan Gelas dari Nenek


 

       Seekor kucing hitam sekonyong-konyong melompat ke arahku. Tubuhku limbung, tanganku melepaskan gelas yang tengah kupegang. Aku sendiri berputar agak oleng demi menghindari si kucing, dan tangan kiriku melayang demi menjaga keseimbangan. Naas, bukannya keseimbangan yang kudapat, justru tangan kiriku ini menyambar serangkaian benda pecah belah di dekatku. Dalam waktu tak begitu lama, bunyi barang pecah—yang lebih terdengar seperti dentuman bom di kupingku—memenuhi ruangan.

     Sementara si kucing dengan seenaknya keluar rumah lewat pintu depan, pintu yang sama yang tadi ia masuki. Ia meninggalkanku dalam keadaan tercengang.

    Kupandangi beberapa benda yang pecah berantakan. Benar-benar berantakan, karena beberapa pecahan masih ada di rak ketiga, tempat tanganku tadi menyambar. Beberapa lagi turun di rak pertama, dan sebagian besar mengotori lantai.

     Dengan berjingkat, kulangkahi semua pecahan-pecahan itu. Ah, kucing itu membuatku rugi setengah mati.

    Benda pecah-belah yang kupecahkan tadi adalah koleksiku, yang kukumpulkan dengan susah payah, melalui beragam pengorbanan. Anda juga tentu tahu, mengumpulkan koleksi tidak mudah. Lihat saja perjuangan para pengoleksi perangko. Filatelis itu bahkan harus mengeluarkan barang yang tidak sedikit demi perangko langka. Atau kisah para pengoleksi action figure berbagai tokoh. Bahkan yang hanya diproduksi beberapa unit dan harganya selangit, mereka rela membelinya. Demi apa? Tanya saja pada mereka.

     Aku masih lebih beruntung, karena belum pernah merogoh kantong demi koleksi-koleksiku. Hanya perlu mengeluarkan uang sejumlah ala kadarnya untuk kumasukkan dalam amplop, dan berharap semoga kedua mempelai bahagia. Selebihnya? Aku makan-makan sampai kekenyangan, tertawa-tawa dengan kawan-kawan yang juga hadir, dan koleksiku bertambah satu. Atau lebih, jika teman-temanku tadi mau memberikan milik mereka untukku.

    Betul, kuakui upayaku untuk mengumpulkan koleksiku sangat minimal. Jangan kaubandingkan dengan kolektor-kolektor yang tadi sudah kusebutkan. Tapi seperti juga sudah kubilang tadi, hancurnya benda-benda kesayanganku ini membuatku rugi. Sebab sebuah gelas mungil pemberian almarhum nenekku juga pecah. Gelas itu berada di antara koleksiku yang lain. Kata nenekku dulu, gelas tersebut berusia lebih tua daripada buyutnya buyutnya nenek—entah berapa generasi sebelum nenek.

Kemarin aku mendapat pesan pribadi dari seseorang. Ia mengutarakan minatnya untuk membeli gelas tersebut seharga tiga puluh juta rupiah.

 

 

                  

                   

Thursday, January 13, 2022

「チャレスポ!TOKYO」に参加して感じたこと


初めて「ボッチャ」という言葉を聞いたとき、特に何も思うことがなくて、かわいい名前だなとしか考えていなかった。私はだいたい、「チャ」が入っている名前は可愛いと思う。それでも可愛さだけで興味を引かれたのは人生で初めてかもしれない。結構前から私の知っていたペタンクという競技と似ているこのボッチャは、元々脳性まひの障害者のために作られ、パラリンピックにおいて初めて競技として採用されたのは1984年のことだそうだ。

 

このボッチャという言葉を初めて聞いてから三か月後。私がボランティアの活動のために参加しているANICという団体の代表者から「十月の体育の日、ユニバーサルスポーツ体験が荻窪であります」というメールが届いた。申し込みを終え、体験日までワクワクが止まらなかった。体験したことがある他のボランティアによると、「簡単そうだが、いざやってみたらそうではなかった」「ボールを投げるだけなのに、あんなに難しいとは思わなかった」「以外とボールを投げるには技術が必要」という、どれも似たような感想が聞かれた。

 

体験日。時間が限られていたこともあって、ボッチャとユニカールという競技をやってみた。体験後の、同行者の友達と:「案外難しかったけど、とても楽しかったね」と話した。なかなかボッチャ(ユニカールもそう)の体験ができず、今度機会があったら絶対に見逃してはいけない、と自分に言い聞かせた。

 

すると、ある日ツイッターでチャレスポ!TOKYOの広告が偶々目に入ってきた。そして、「ボッチャ」についてもこの広告のポスターに書いてあった。想像しづらいほど独特なセンスのタイトルはさておき、どんなイベントか分からないまま受付の予約をした。

 

そして、去年の1219日に東京国際フォーラムに足を運んだ。このビルの外には私の好物、Ya Kun Kaya Toastのお店があるため、少しだけ寄って名物のカヤトーストを口に入れてもいいかな、と一瞬の迷いもあったが、時間に余裕がなかったため、すぐにチャレスポの入口へ向かった。有楽町店舗のカヤトーストは今度食べに行くつもりだ。

 

ホールに入ったら、色んな種類のパラスポーツのエリアが並んでいた。体験可能な競技は広々としたエリアの中に道具があったが、一方で、体験不可能な競技はユニホーム、競技の説明表、道具などが展示されているだけであった。

 

入口の左側のすぐのところはフライングディスクのエリアであった。フリスビーと何が違うんだろう、と思いながら受付に地図表を見せ、スタンプを貰った。備え付けられた3つのゲームの中で、真ん中のゲームには一番長い列ができていた。3メートル先にある、番号の付いた9つのパネルに向かってディスクを投げ入れるゲームだった。その時、パネル越しに何かを叩き音をたてているスタッフさんがいて、その音を頼りに、盲目の体験者が音の方向に一所懸命ディスクを投げた。3号→番?5号、6号、7号、9号のパネルにディスクが入った。ディスクが入る度、私は気づかず拍手をした。それを見てこのゲームもやってみたくなったが、並んでいる人があまりにも多すぎたから、誰も体験者がいない三番目のゲームに挑戦した。3メートル先にある直径2メートルの大きな輪にディスクを投げ入れるゲーム。10枚のディスク中、輪に入ったのは6枚だけだった。

 

フライングディスクを後にして、次に私は車いすバドミントンを体験した。私の前に並んでいるのは車いすで来場した一人の男性だった。20分順番を待った後、やっと自分の番が来た。車いすに乗るとかの競技の下準備を手伝ってくれるスタッフさんは一人しかいなかったため、私はしばらく待った。その間、さっきの男の人の手伝いを観察した。一分間も経たない間に、この男の人はコートに入り、ラケットを振り始めた。軽快な動きで車いすの方向を転換し、ラケットを振る姿は素晴らしかった。私もそのあとコートに入り、2分後に、車いすの方向転換の際にラケットと車輪のハンドリムの間に手を挟んじゃったり当たったりしたことによって、掌に少し痛みを感じながら、車いすバドミントンのエリアから離れて行った。

 

その後、メインステージで開催されていたパラリンピック・オリンピックのメダリストのトークショーを聞きながら、ふと友達の言葉を思い出した。日本以外に米中英、シンガポール、ベトナム、インドネシアに住んでいたことがあるこの日本人の友達が、「自立している障害者を街でよく見かける国は日本のほかにはない。」と教えてくれた。私はインドネシアと日本にしか住んでいたことがないから、他の国の様子は見たことがないが、思い返せば確かにそうだった。

 

インドネシアは障害者の安全を優先しない国だと考えられる。歩行者通路は駐車場になっていたり、印の→移動をサポートする黄色いブロックが突然途切れたり、電柱や木が途中でドンとあらわれたり、テレビなどにも字幕がなかったりする。障害者自立支援制度はあるかどうか分からないが、あるとしても実際の社会で生かされていないように思う。この支援がないことによって、高い壁を越えていかないといけない自立が更に難しくなるだろう。実家が裕福な家庭じゃないとほぼ家で時間を過ごし、社会に出る余裕はない。

 

インドネシアにおいてPancasilaと呼ばれている建国五原則のひとつ、「全国民にたいする社会正義」という五番目の原則は全国民に対するもれなく平等な扱いを指している。この熱心→熱意/情熱?は原則として心に留めた上で、日常生活でも実践する必要がある。このチャレスポのようなイベントを通して、障害のある人とない人がお互いのことを思いやり、みんなが楽しめる社会になれば良い。

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, October 26, 2021

定年は歳の問題?それとも、体力の問題?




「何歳まで働き続けたいと思いますか?」

こういう質問はあまり考えたことがなくて、突然聞かれたとしたらすぐ明確な答えを出せないと思う。とりあえず公務員として60歳まで社会に尽くしたいということを目標にしていた。


そのため、世論調査でせめて70歳まで働きたいと回答していた日本人の会社員に対しては感心するばかりである。強い意志がないと、そういう考え方はできないだろう。


だが、この間オンライン新聞に感心を超えて尊敬の念を抱く記事があった。それは70歳まで働き続けたいと言った人ではなく、今90歳で働き続けているとある人についての記事だ。ギネス世界記録で「最高齢の総務部員」と認められた玉置泰子さんである。


経理や庶務を担当している玉置さんは元気で前向きに64年間勤続してきた。仕事の事もそうだし、周囲に対してのこともそうだ。例えば、60代の頃は、当時普及したパソコンを勉強し始めて、使用できるようになった。世間では老後と言われる歳にもかかわらず、仕事に必要なスキルを磨いたという玉置さんの強い意志に感心した。かたや周囲との関係作りにもきちんと取り組んで、同僚や上司の間でも玉置さんは評判の良い仕事をしてきたそうだ。


そんな元気でポジティブな玉置さんは毎日どう過ごすのか、そして、何を考えているのか?生活に何か秘密があるのだろうか。彼女の毎日のルーティンに密着すると、朝活が大ヒントになるかもしれない。朝5時半に起き、それからヨガをし、その後はバスと電車を乗り換え通勤。他にはフェイスブックで仲間を作り、ポジティブな精神を保っているそうだ。


人生経験を積んできた玉置さんから学んだ重要なポイントは2つ。1つは年齢は壁ではないということ、もう1つは年配者と若者が一緒に手を取り合って前へ進むべきだということ。偏見を持つ、あるいは人に価値をつけることはやめるべきだと筆者は強調した。



写真提供 Photo by Alexandr Nikulin from Pexels

Sunday, August 15, 2021

Hoshi no Ko: Rumitnya Perjalanan Emosi Seorang Remaja SMP


Judul: 星の子 (Hoshi no Ko)

Pengarang: Natsuko Imamura

Penerbit: Asahi Shimbun

Tahun Terbit: 2017

Jumlah Halaman: 220 halaman

 

Chihiro berada di persimpangan jalan.

Di salah satu ujung jalan, orang tuanya menantinya dengan sabar. Merekalah yang dengan gigih mencoba segala upaya untuk membuatnya sembuh dari sakit yang ia idap sejak lahir. Salah satu upaya itu adalah dengan menyeka tubuhnya dengan Berkah Bintang Kejora: air ajaib yang disebut-sebut diberkati oleh energi alam raya. Sejak saat itu, Berkah Bintang Kejora rutin hadir di rumah itu. Sebagai air minum sudah tentu—walaupun tak diperkenankan untuk menyeduh kopi. Selain itu, air itu hadir sebagai bahan jaram utama yang membasahi handuk putih di atas kepala orang tuanya.

Handuk putih beserta air ajaib sebagai jaram yang ditumpangkan di atas kepala itu adalah keberkatan bagi orang tuanya, tapi kegilaan di mata orang lain.

Orang-orang lain ini berada di ujung jalan satunya. Gurunya berkata orang tuanya aneh. Teman baiknya bilang ia dan orang tuanya ditipu habis-habisan. Pamannya menganggap orang tuanya diperdaya. Sepupunya berpendapat ia lebih baik menjaga jarak dengan orang tuanya.

Sebab hidup adalah perkara memilih satu (atau beberapa) hal atas hal lainnya, Chihiro pun dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang harus ia ambil satu (atau beberapa) di antaranya. Serangkaian bintang jatuh yang ia saksikan, agaknya, telah membantunya mengambil keputusan.

 

Saya membayangkan hidup sebagai seorang Chihiro. Orang tua saya dipertemukan dengan sebotol air, mengalami keajaiban, lantas percaya setengah mati kepada air tersebut. Orang lain bisa apa kalau orang tua saya sendiri sudah merasakan betapa terberkatinya air tersebut? Belum lagi saya sendiri juga merasakan mukjizat itu saat kecil, dan melihat orang tua saya sehat walafiat selama lima belas tahun. Lalu tiba-tiba orang-orang itu: guru, kawan sekolah, dan kerabat; mencerocos dan mendikte tentang betapa apa yang orang tua saya (dan saya) yakini adalah konyol dan kami ditipu. Bah, siapa mereka? Tetapi mereka juga membawa bukti-bukti yang, sayangnya, cukup membuat pendirian saya goyah dan kepercayaan saya kepada orang tua meluntur. Ke mana saya harus menuju? Ini rumit sekali.

Saya tak sanggup menghadapi beban seperti Chihiro.

 

Segala detail beban dan kebimbangan yang dialami Chihiro itulah yang agaknya dipilih untuk diramu oleh Natsuko Imamura dalam novel Hoshi no Ko. Kebimbangan ini semakin pelik karena tokoh Chihiro digambarkan duduk di kelas 3 SMP, usia remaja yang penuh dengan pencarian jati diri. Jalan pencarian Chihiro tidak mudah. Terjalnya jalan emosi Chihiro dipotret dengan detail yang apik oleh Natsuko. Penuhnya isi kepala Chihiro dapat dibaca dari dialog-dialognya dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

 

Sayangnya, ada sedikit detail yang cukup menganggu bagi saya.

Pada halaman 79, termuat biodata Minami, guru Chihiro yang juga merupakan orang yang ia sukai. Di situ tertulis bahwa negara favorit sang guru adalah Hawai. Saya langsung menandai bagian ini: sejak kapan Hawai menjadi sebuah negara?

Selain itu, novel ini didominasi oleh dialog. Kebanyakan merupakan dialog singkat satu atau dua baris dan kurang penting, yang membuat jalan cerita menjadi agak membosankan. Misalnya dari halaman 212 hingga 219, yang menggambarkan adegan keluarga Chihiro duduk bersama di bukit sembari ngobrol ngalor-ngidul memandang langit malam. Pada bagian tersebut, mayoritas—ada sekitar 75 baris—dipadati tarik-ulur demikian dari Chihiro: “aku tidak melihat bintang jatuh, tapi pulang sajalah,” dan Ayah-Ibunya: “kita tidak akan pulang sebelum kita semua melihat bintang jatuh.”

 

Pun demikian, adegan itulah yang menarik perhatian Yoko Ogawa, salah satu dewan juri Akutagawa Prize yang memberi nilai sempurna untuk Hoshi no Ko. “Adegan langit malam di bagian terakhir. Penuh letupan emosi di sana, meskipun akhir kisahnya tidak diceritakan. … Kalimat-kalimat yang tidak dituliskan terasa hadir lebih dekat dibanding yang dituliskan,” demikian komentarnya.

Selain Yoko Ogawa, ada seorang dewan juri lain yang juga memberi tanda dua lingkaran biru sebagai tanda nilai tertinggi pada karya Natsuko ini. Adalah Hiromi Kawakami, yang berkomentar, “Penulis novel ini memahami dengan baik sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh siapa pun: bagaimana cara menulis novel agar menjadi sebuah novel yang seharusnya.”

Sementara itu, juri lainnya berpendapat bahwa novel ini "berhasil menggambarkan dunia seorang anak yang sedang terperangkap".

Menanggapi pujian-pujian itu, Natsuko hanya mengatakan ia mencintai aktivitas menulis dan akan terus melakukannya sepanjang ia masih menikmati kegiatan tersebut. "Saya sama sekali tidak merasa sedang melakoni pekerjaan sebagai penulis, tapi saya akan merasa sedih jika dilarang menulis."

Natsuko menceritakan dalam sebuah wawancara dengan suatu koran Jepang, bahwa ia mendapat inspirasi untuk menulis novel dari pengalamannya sehari-hari. Untuk novel Hoshi no Ko ini, Natsuko mengambilnya dari apa yang ia lihat pada suatu waktu di Osaka. Ia berkisah, ia melihat sepasang suami istri yang saling menuangkan air dari botol minuman ke atas kepala satu sama lain. Bagian inilah yang menjadi ide utama Hoshi no Ko: orang tua Chihiro melakukan rutinitas tersebut setelah mengenal air ajaib. 

 

Novel ini mungkin juga menyisipkan semacam pesan bagi orang-orang dewasa: bijaklah mengambil langkah, sebab anakmu juga akan menerima dampaknya; kau sangat beruntung kalau anakmu tak sampai limbung.

 

Hoshi no Ko menjadi satu dari empat novel yang masuk daftar pendek Akutagawa Prize ke-157. Dari sepuluh orang dewan juri, dua orang memberi penilaian tertinggi untuk novel ini. Hoshi no Ko akhirnya tidak memenangi penghargaan tersebut. Novel ini kalah dari karya berjudul Eiri karya Shinsuke Numata, yang memperoleh penilaian tertinggi dari tiga dewan juri. Akutagawa Prize sendiri adalah salah satu penghargaan paling bergengsi untuk karya sastra Jepang.

 

 

 

Thursday, September 17, 2020

Kembali Ke Malam Biru (Terjemahan Esai Yoshimoto Banana)




Kemarin, untuk pertama kalinya saya pergi ke Roma.

Tapi rasanya ini bukan yang pertama kali--entah ini pertanda baik atau buruk.

Ketika saya pergi ke luar negeri, ada tempat-tempat yang membuat saya merasa, 'rasa-rasanya saya sudah pernah ke sini'. Lupakan ide tentang kehidupan sebelumnya, jelas bukan. Perasaan bahwa itu bukan yang pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tempat tersebut membuat saya merasa aneh dan tidak betah. Hal yang terburuk adalah rusaknya luapan kegembiraan untuk merasa, 'ini pertama kalinya saya ke sini!'

Sementara hal baiknya adalah saya merasa rindu dan bisa lebih rileks. 

Malam itu kami semua letih setelah menuntaskan diskusi yang sangat memompa adrenalin.

Namun ada keseganan untuk mengakhirinya dengan ekspresi lega serupa, 'akhirnya selesai!' yang membuat kami akhirnya tetap ogah-ogahan di bar. Setelah diserang kantuk hebat, kami akhirnya kembali ke apartemen di Roma setelah mengantarkan Amitrano-sensei sampai ke parkiran mobilnya.

Amitrano-sensei (Giorgio Amitrano) adalah penerjemah buku-buku saya ke bahasa Italia, dan kami punya ketertarikan terhadap hal yang sama. Saya mempercayainya. Barangkali ia bahkan bisa menerjemahkan aliran atmosfer yang ada di dalam buku saya.

"Kami akan berjalan-jalan ke arah sana kemudian pulang." Mendengar hal tersebut, ia langsung menyahut, "kalau begitu, ayo berkeliling kota dahulu." Saya, rekan dari agensi bernama D, dan juru bahasa Are-chan menyambut dengan gembira dan berteriak seperti bocah, "kami mencintaimu, Sensei!" Kami berempat pun berangkat.

Roma pada malam hari.

Dari jendela mobil, saya memandang Roma dengan sudut pandang yang sama seperti warga yang tinggal di sana. Roma terasa seperti sebuah kota yang ganjil.

Masa lalu seolah mengambang. Bukan seperti hantu, melainkan seperti arwah.

Reruntuhan bangunan bersejarah dan benteng di kota pada malam hari yang diterangi lampu sungguh memberi energi yang besar. Benda-benda raksasa itu seolah menyatu dengan pemandangan kota.

Di sini, saya merasa yakin cara berpikir saya sedikit berubah.

Kami bersenang-senang dan menjadi riuh.

Dua pria Italia ini menyanyikan lagu berbahasa Italia untuk kami. Suara mereka mengalun, mewarnai Roma di malam hari.

"Orang-orang yang mobilnya lewat di samping mobil kita pasti berpikir kalau kami adalah wisatawan lugu dari Jepang yang berhasil dirayu oleh orang Italia," gurau kami. Begitu memasuki Vatikan, kami segera terdiam karena tergugu-gugu oleh megahnya tempat tersebut.

Sulit dipercaya bangunan semegah itu dibangun oleh manusia.

Saya sampai berpikir ada yang tidak beres dengan mata dan badan saya.

Jalanan di tepi sungai tampak cantik seperti dalam film, orang-orang berlalu-lalang dalam diam di tengah pekatnya malam.

Benteng terlihat gelap, besar, dan menjulang tinggi; langit berwarna hitam.

Saking seringnya melihat pemandangan yang sangat indah, saya berpikir, 'sepertinya saya sudah pernah melihat malam yang seperti ini'. Seolah ada yang terngiang, entah di mana: kekosongan, kegelapan total,  dan kesendirian.

Rupanya itu tergambar dalam lagu populer karya maestro Hara Masumi, judulnya "Aoi Yoru" (Malam Biru).

Tidak pernah terlintas sedikit pun di pikiran saya pertanyaan semacam padahal ia sendiri tak pernah pergi ke Roma, bagaimana bisa?

Sebab yang digambarkan oleh para pekerja seni adalah wewangian dari seluruh malam, dari malam pada suatu waktu, dari malam-malam yang akan datang, dan dari malam yang menyelimuti negeri asing yang jauh dalam mimpi.

Saya menyukai lagu itu, sampai pernah menuliskannya dalam sebuah esai saya. Namun waktu itu saya tidak membayangkan bahwa pada suatu hari di Roma saya akan menyusuri malam pada lagu itu.

Pengalaman yang absurd.

Bagi saya pribadi, semakin bertambahnya hal-hal indah pada laci kehidupan saya akan menghubungkan keindahan yang baru saya ketahui dengan keindahan lainnya. Dan itu membuat saya menganggap bahwa suatu saat akan lahir suatu keindahan paripurna yang tiada duanya di alam raya, milik saya sendiri.